Lagi buka-buka coretan lama di my document eh nemu file yang kutulis duluu bgt..
Judulnya: KONDANGAN.
Berawal dari satu keluhan yang kudengar dari mulut my mom tersayang…
“Undangan lagi… undangan lagi… Heran deh… ngga ada abisnya…” dumel mama.
“Apaan sih ma?” tanyaku yang lagi menonton tv agak terganggu.
“Itu tuh… wong mbarang gawe koh ana bae… undangan tiga aja belum abis, datang lagi… datang lagi,” sungut mamaku sambil menaruh sebuah undangan di atas meja makan.
Penasaran, aku pun mengambil undangan itu. Undangan perkawinan. Dari salah satu tetangga desa, yang aku sendiri tak tahu siapa.
Satu keluhan itu kemudian ternyata nggak putus sampai di situ… Hari berikutnya terdengar lagi… dan lagi… Nggak Cuma dari mamaku saja tapi dari Bu lik, kakak sepupu, Bu de, belum lagi tetangga-tetangga di sekitar rumah.
Kondangan. Mbrang gawe. (istilah Banyumas)
Itu adalah satu fenomena yang saling melekat di kehidupan masyarakat kita. Sudah
mengakar dari entah beberapa puluh tahun, kita sendiri nggak tahu. Mungkin banyak dari kalian yang mengenal istilah ini. Ini biasa disebut hajatan atau syukuran dari pernikahan atau khitanan. Ya, mungkin tujuan dari tradisi ini sebenarnya adalah bentuk rasa syukur atas kebahagiaan atas pernikahan atau khitanan. Si empunya hajat biasanya ingin berbagi kebahagiaan dengan saudara atau tetangga mereka. Tapi ironisnya sekarang dibalik kebahagiaan itu terbesit keluhan-keluhan di belakangnya. Ekonomi pas-pasan, membuat kondangan menjadi tambahan beban bagi mereka. Bahkan kadang orang membuat hajat, menjadi tidak murni lagi tujuannya, yaitu untuk syukuran tapi banyak juga hanya ingin memperoleh untung dan gengsi... Ironis memang. Tapi tradisi... tetap menjadi tradisi...sulit untuk dihapus. Hanya mungkin tujuan dan artinya harus diluruskan kembali...agar tidak melenceng....
mengakar dari entah beberapa puluh tahun, kita sendiri nggak tahu. Mungkin banyak dari kalian yang mengenal istilah ini. Ini biasa disebut hajatan atau syukuran dari pernikahan atau khitanan. Ya, mungkin tujuan dari tradisi ini sebenarnya adalah bentuk rasa syukur atas kebahagiaan atas pernikahan atau khitanan. Si empunya hajat biasanya ingin berbagi kebahagiaan dengan saudara atau tetangga mereka. Tapi ironisnya sekarang dibalik kebahagiaan itu terbesit keluhan-keluhan di belakangnya. Ekonomi pas-pasan, membuat kondangan menjadi tambahan beban bagi mereka. Bahkan kadang orang membuat hajat, menjadi tidak murni lagi tujuannya, yaitu untuk syukuran tapi banyak juga hanya ingin memperoleh untung dan gengsi... Ironis memang. Tapi tradisi... tetap menjadi tradisi...sulit untuk dihapus. Hanya mungkin tujuan dan artinya harus diluruskan kembali...agar tidak melenceng....
Di bawah ini ada beberapa bait pandanganku ttg kondangan itu sendiri, nggak pantes juga sih dikatakan puisi... nggak tau lah apa namanya... Enjoy reading...
K.O.N.D.A.N.G.A.N
Dangdut… melayu… qosidah… menjadi favorit…
Tratag… dari tenda… terpal… kain… atau seng… terpasang…
Senyum ramah… Sumringah… letih… di wajah tuan rumah tergambar….
Senyuman… sapaan… juga ada di wajah tamu-tamu undangan…
Tentengan… blik-blik… kaleng-kaleng… amplop… tak lupa ada di tangan…
Sajian makanan… kue-kue… kripik… prasmanan…. Terhidang…
Ramah tamah… percakapan… gurauan… bersahut-sahutan…
K-O-N-D-A-N-G-A-N
Punya dua sisi mata uang…
Satu tadi tergambar… sekarang satu sisi lagi akan ku umbar…
Rencana terlontar… pusing nyari utang…
Utang udah didapat… saudara diajak rapat…
Maksud terbilang… mulai mencari sumbang
Panitia dibentuk… glidig direkrut…
Sajian dibahas… lalu mulai dikemas…
Undangan terbentuk… lalu tercetak…
Setelah disebar… kabar pun tersiar…
Orang-orang kasak-kusuk…. Ketika melihat sedikit uang masuk…
Keluhan terlontar… kita aja masih sering lapar…
Tapi harga diri terlontar… jika tak ada 1 kilo pun beras sekedar…
Pusing… pusing… tujuh keliling…
Anak-anak minta jajan… tak ada uang buat kondangan…
Mengelak tak bisa… karena harga diri taruhannya…
Itu kata mereka…
Kata orangtuaku… orang tuamu…
Saudaraku… saudaramu…
Tetanggaku… tetanggamu…
Panembangan, 21 Januari 2009
0 komentar:
Posting Komentar